Epilog Kematian
“Pokoknya kalau tak dibelikan buku, aku tak mau lagi belangkat sekolah”. Kudengar Soni menangis tergugu-gugu. Malam itu aku sedang menginap di rumah kakakku. Sesekali terdengar suara perempuan tua. Itu pasti suara neneknya, karena Sony dan kakaknya tinggal bersama kakek dan neneknya di rumah itu. Entah apa yang kemudian terjadi, suara tangis itu mengecil dan tak terdengar lagi.
Sejak peristiwa itu, aku tak melihat lagi Sony berangkat ke sekolah. Ia biasanya lewat depan rumah kakakku ini. Seminggu terakhir ini, ia tak lagi main ke sini untuk sekedar minta Aji, adik ipar kakakku, mengerjakan tugas dari sekolah.
**********
MBAK TUN, ibu Sony, menurut cerita kakakku dulu cuma mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar. Sama seperti ayah dan ibunya. Ayahnya masih lumayan, pernah mengenyam pendidikan di SR, setingkat sekolah dasar pada masa penjajahan. Sedang Ibunya, tak pernah menikmati pendidikan di sekolah. Waktu itu, perempuan memang dilarang sekolah.
Selisih umurnya dengan kakakku tak terpaut jauh. Ketika dia kelas enam, kakakku masih duduk di bangku kelas empat SD. Sayang, ia tak menyelesaikan pendidikannya. Padahal sudah menjelang ujian akhir kelulusan. Satu tahun kemudian, ia dikawinkan dengan pemuda dari kampung sebelah. Saat itu banyak gadis di kampung ini tak melanjutkan sekolah. Kalau tidak dikawinkan, mereka akan merantau ke luar negeri menjadi pembantu rumah tangga di sana.
Satu tahun menikah dengan Fajar, ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak pertamanya diberi nama Firman. Selang tiga bulan kelahiran si sulung, suaminya pergi merantau ke Negeri Uang. Maklum, keluarga Tun sangat ta’at dalam memegang prinsip ajaran agamanya. Menurut orang tuanya, seorang perempuan tak boleh pergi tanpa didampingi oleh muhrimnya meski untuk mencari nafkah. Padahal teman-teman sekampungnya banyak yang berhasil. Ia kadang iri melihat Yuni bisa membangun rumah gedongan. Namun, ia harus patuh pada nasehat orang tuanya, bila tidak, ia tak akan diakui lagi sebagai anaknya.
Suaminya sudah tiga kali pulang-pergi ke Negeri Uang itu. Hasil tabungan suaminya selama enam tahun bekerja di perantauan, digunakan untuk merenovasi rumah orang tua Tun. Rumah itu nantinya akan diwariskan kepadanya. Ia adalah anak terakhir dari dua bersaudara. Saudara perempuanya telah berkeluarga dan sekarang tinggal di rumah suaminya.
Sebelum keberangkatannya yang kedua, Tun tengah mengandung anak yang kedua. Perutnya sudah mulai membuncit. Kakakku bilang usia kandungannya sudah menjelang enam bulan.
Kepulangan yang kedua kalinya, menurut kakakku, suaminya cuma membeli sebuah sepeda buat anaknya yang sulung karena sebentar lagi ia akan masuk SMP. Sejak saat itu ia tak kelihatan lagi berjualan jajanan di depan SD, sekolah anaknya yang bungsu. Letaknya di ujung gang, sekitar seratus meter dari rumahnya.
Pernah suatu malam, kakakku mendengar suara pertengkaran dari rumah Tun. Berlangsung cukup lama. braakkk! Terdengar suara benda membentur pagar rumahnya yang terbuat dari papan. Terdengar suara Tun menangis.
“Kamu ini istri tak tahu diri, bikin malu suami saja. Sudah aku bilang tak usah berjualan lagi, masih saja ngotot. Apa kata tetangga nanti. Mereka kira aku tak pernah kasih kamu makan. Kamu ini untung jadi istriku. Coba lihat si Yuni, dia malah yang cari duit. Suaminya enak tiduran di rumah. Kamu…”
“Cukup mas. Aku berjualan juga buat bayar uang sekolah anak-anak kita. Aku..”
“Eh, sudah berani menentang suami ya! Ini pasti gara-gara kamu banyak gaul sama Mira, perempuan laknat itu. Kamu mau tiru-tiru seperti dia, keluyuran keluar rumah. Pulang sore atau bahkan larut malam. Dandanannya kayak ondel-ondel. Suamimu ini masih bisa kasih kamu makan! Awas nanti aku lihat kamu bergaul lagi sama perempuan lonte itu!”
“Istighfar mas, mbak Mira itu perempuan baik-baik. Dia malah sering minjami saya duit kalau pas kiriman dari mas belum datang. Dia....”
“Issstri laknattt! Durhaka kamu berani melawan suami”.
Plakkk. Plakk. Plakk. Suara tamparan berkali-kali. Tun menangis. Suaranya lirih, namun terdengar amat memilukan.
Malam itu, kakakku hanya mendengar dari balik jendela rumah yang terletak persis di sebelah ruang tengah rumah Tun. Kedua orang tua Tun kebetulan sedang tak ada di sana. Mereka sudah tiga hari menginap di rumah anaknya yang pertama. Coba ada orang tuanya, si brengsek itu pasti tak berani.
“Saat itu, ingin rasanya kutampar mulut laki-laki angkuh itu. Ia sungguh tak tahu diri. Sudah tak pernah kirim uang belanja, eh malah nyalahin istrinya”, tutur kakakku geram.
Namun yang lebih membuat dirinya marah adalah ucapan suami Tun yang mengatakan ia perempuan murahan. Untung hal ini tak disampaikan pada suaminya. Malam itu mas Irfan, suaminya, lagi tak ada di rumah. Ia sedang mendapat tugas mengajar SMA di luar kota. Biasanya dua atau tiga hari sekali ia pulang.
MBAK MIRA, kakakku, sehari-harinya mengajar di SMP 2. Di kecamatan itu hanya ada dua SMP. Satu terletak di dekat kota dan yang satunya, tempat kakakku mengajar, letaknya sekitar lima kilometer dari rumahnya. Ia biasanya pergi mengajar dengan mengendarai sepeda motor. Ia berangkat pagi-pagi, dan pulang sore hari. Bahkan seperti minggu-minggu ini, ia sering pulang sampai petang karena ada jam pelajaran tambahan menjelang ujian akhir siswa kelas tiga.
Sebagai seorang adik, aku tak bisa menerima tuduhan ngawur suami mbak Tun itu. Aku kenal betul siapa kakakku ini. Ia keluar rumah untuk mengajar dan bekerja membantu suami. Tidak untuk melacur. Lagian, kenapa dia tak mencaci gadis-gadis kampung yang merantau ke luar negeri itu. Bahkan sudah jelas diantara mereka sudah bersuami. “Dasar laki-laki kampungan”, umpatku.
Penampilan kakakku itu memang tak seperti perempuan-perempuan di kampung ini. Mereka selalu mengenakan jarik panjang ala Kartini dan kerudung penutup kepala setiap kali keluar rumah. Namun bukan berarti dia perempuan murahan. Perempuan-perempuan di sini sangat menghormatinya. Ah, hanya laki-laki tak waras itu saja yang busuk hatinnya. Lagian kakakku juga hampir tak pernah absen menghadiri acara rutinan pengajian ibu-ibu tiap Selasa sore itu.
“kak, kenapa tak kau damprat saja laki kampungan itu?”, tanyaku.
“ah, tak usah. Justru kakak lebih kampungan kalau membalas perlakuannya”, jawabnya tenang.
FAJAR dulunya adalah seorang suami yang baik. Ia tak ingin istrinya bekerja merantau ke luar negeri seperti perempuan-perempuan di kampunya. Ia sependapat dengan orang tua Tun bahwa seorang perempuan tak boleh bepergian tanpa didampingi oleh kerabatnya. Apalagi ia telah bersuami. Dan yang berkewajiban mencari nafkah keluarga adalah sang suami.
Ia juga sayang sama anak. Istrinya pernah bercerita bila nanti anaknya ingin disekolahkan sampai perguruan tinggi agar bisa bekerja di kantor tidak seperti ayahnya yang hanya lulus SMP. Namun setelah kepulangannya yang kedua, ia banyak berubah. Ia sering marah-marah. Entahlah, apakah ia memang tidak suka setelah tahu selama ini istrinya bekerja. Tapi ia sendiri jarang kirim uang belanja dan biaya sekolah anaknya. Ataukah memang dia telah berubah. Ah, bisa jadi di sana ia sudah punya wanita simpanan.
Di perantauan, ia bekerja menggarap proyek bangunan. Bakatnya mewarisi kepiawaian almarhum ayahnya sebagai tukang kayu terkenal di kampung ini. Kebetulan ketika masih di rumah, ia biasa diminta para tetangga mengerjakan bangunan rumah mereka. Interior dan perabot rumah kakakku ini juga hasil sentuhan tangan halusnya.
SAMPAI kini, tiga tahun dari keberangkatanya yang ketiga, Tun tak pernah menerima kabar dari suaminya. Kiriman uang belanja tak pernah lagi Ia terima. Satu tahun terakhir ini banyak tenaga kerja ilegal dari negeri ini dipulangkan. Tun ingat suaminya tak memiliki surat ijin resmi. Ia khawatir sesuatu telah terjadi. Dulu, suaminya pernah bersembunyi di hutan selama berhari-hari saat ada operasi penertiban tenaga kerja asing. Tetangga yang telah pulang dari sana tak mengetahui keberadaannya.
Saat ini anaknya yang sulung telah duduk di bangku kelas satu SMP. Si bungsu masih duduk dibangku kelas dua SD. Bagi Tun, cari kerja susah karena SD saja ia tak lulus. Lagian, dirinya masih trauma dimarahi suaminya saat ia tahu bahwa istrinya bekerja. Ia bingung, nggak kerja tak punya uang. Sementara ia dan kedua anaknya juga butuh makan. Padahal sekolah sekarang membutuhkan banyak biaya. Belum lagi untuk membeli seabrek buku paket. Mau terus-terusan minta orang tua tak enak. Lagian mereka sudah tua. Untuk memenuhi kebutuhan kedua anaknya, ia nekat bekerja dikios kelontong pak Joni. Namun, penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari.
Kakakku adalah seorang tetangga yang baik. Meski tak bisa melupakan ucapan suami Tun tempo hari itu, bukan berarti ia membenci istri dan anaknya. Ia paling tidak tahan melihat orang lain menderita. Apalagi ia memang punya cukup penghasilan dan sampai sekarang, dua tahun menikah, ia belum punya anak. Ia terkejut saat Tun menolak bantuannya. Padahal saat itu Tun sedang butuh uang untuk bayar uang sekolah anaknya.
**********
HAMPARAN lahan luas berwarna kekuning-kuningan. Musim panen padi sebentar lagi tiba. Hempasan angin dari ladang menembus ke perkampungan ini. Anak-anak tampak berlarian bermain layang-layang. Tubuh dekil mereka tampak kelam tersengat oleh terik matahari.
Aku teringat masa-masa kecilku saat masih tinggal di rumah nenek di kampung. Aku dan kakakku waktu itu dititipkan oleh orang tua kami di tempat nenek. Orang tua kami saat itu sedang mendapat tugas dinas di luar Jawa. Setiap hari sepulang sekolah bersama teman-teman desa berhamburan ke ladang bermain layang-layang atau kadang mencari jangkrik. Aku masih ingat ketika pak Ahmad mengejar-ngejar kami gara-gara menginjak tanamannya di ladang.
Kejadian itu berlangsung sekitar dua puluh-an tahun yang lalu. Entahlah bagaimana kabar teman-teman kecilku itu sekarang. Aku tak pernah lagi main ke rumah nenek semenjak ia meninggal. Dulu orang-orang kampung masih pergi berladang. Ada juga yang merantau ke ibu kota atau ke luar negeri.
Kulihat Soni di tepi ladang itu. Ia sedang memasang tali di layang-layangnya yang dibalut dengan plastik bekas berwarna hitam. Ia menggigit-gigit tali itu, berusaha untuk memutusnya. Aku masih melihatinya. Ia belum tahu bila aku sudah beberapa meter di depannya. Beberapa hari terakhir ini aku memang telah akrab dengannya.
Kehidupan di kampung ini belum banyak berubah. Orang-orang masih pergi berladang saat ayam beriuk di pagi hari. Bahkan bila musim tanam, mereka bisa lebih awal lagi pergi ke ladang. Tengah hari mereka kembali ke rumah untuk beristirahat sebentar, kemudian kembali berladang. Menjelang maghrib mereka sudah kembali ke rumah. Puji-pujian bergumam di surau saat maghrib tiba.
Bangunan rumah para penduduk masih sangat sederhana. Sebagian besar terbuat dari papan. Kecuali yang bekerja di luar negeri, rumah mereka tampak beda dari yang lain. Seperti rumah depan kakakku itu, berdiri rumah berlantai tiga. Ukurannya besar, dindingnya dari keramik berwarna biru.
“kamu tak ke sekolah lagi”
“ia mas. Kata nenek, ibuku tak punya uang untuk bayal sekolahku”, jawabnya dengan suara terbata-bata dan ejaan pelafalan yang belum sempurna.
Aku tersentak mendengar kata-kata itu. Harusnya saat ini ia masih belajar di bangku kelas dua SD. Ada apa gerangan?
***********
SEJAK terdengar kabar pemulangan beberapa TKI ilegal, banyak orang yang merantau kembali ke kampung halaman masing-masing. Hampir semua telah kembali. Seperti Murni, istri Kamto yang telah merantau hampir tujuh tahun di luar negeri, baru saja pulang ke kampung halaman.
Murni mendengar kabar bila suami Tun telah menikah dengan seorang perempuan keturunan Melayu. Saat ini mereka telah memiliki satu anak. Kabar itu juga telah beredar di kampungnya. Tapi Tun masih belum percaya mendengar gunjingan para tetangga. Baru setelah Murni datang ke rumahnya dan menceritakan apa yang telah terjadi pada suaminya.
“Tun, ni aku dapat titipan dari suamimu”’
“titipan apa?”, ia penasaran. Matanya berkaca-kaca.
Amplop itu berisi uang 500 ribu rupiah. Baru kali ini suaminya mengirim uang sebesar ini. Itu pun ditipkan karena ada tetangganya yang pulang dari sana.
“Tun, suami kamu.....”, Murni gugup..
“ada apa kang Fajar?”
“suami kamu, sudah punya anak di sana”
Tun menatap wajah Murni. Telah lama ia mengenalnya. Sejak kecil mereka berteman. Ia berpikir temannya yang satu ini pasti serius, tak mungkin berbohong.
“kang fajar kawin lagi....”’, muka Tun memerah.
“ii yaa. Sebelum aku pulang, aku bertemu dia bersama seorang perempuan dan seorang anak laki-laki yang digandengnya. Ia menitipkan uang ini untukmu. Anaknya sudah hampir sebesar Sony. Rupanya suamimu selama ini...” ia tak melanjutkan lagi. Air mata berlinangan di wajah Tun. Ia jatuh tersungkur.
Murni menggotongnya ke atas dipan di ruang tengah. Keringat deras mengguyur sekujur tubuhnya. Ia memanggil-bungsu nama si bungsu.
TUN ingin menyusul suaminya ke perantauan. Namun niat itu ia urungkan. Sebenarnya ia ingin menemui suaminya untuk minta cerai. Tak lama kemudian, ia menikah dengan seorang laki-laki yang sudah beristri. Tapi itu tak berlangsung lama. Hanya tiga bulan. Setelah itu ia nekat pergi ke luar negeri. Padahal orang tuanya telah melarangnya. Bahkan mereka mengancam tak akan menganggapnya lagi sebagai anaknya bila ia tak mendengar nasehatnya. Entahlah, aku juga tak percaya bagaimana perempuan seperti dirinya berubah menjadi seperti itu.
**********
“mas, tadi malam aku belmimpi layang-layangku putus”, ucap Sony.
Aku tak menjawab. Hari sudah sore, aku mengajaknya kembali ke rumah. Aku terkejut mendapati rumahnya telah ramai dikerumuni orang. Ku lihat Firman meneteskan air mata dan bergegas mendekap erat adiknya.
Hayamwuruk, 23 April 2005
0 penitip luka:
Post a Comment
<< Kembali ke gerbang luka