EMBUN KEHIDUPAN: Perempaun di Seberang Pulau

Saturday, March 04, 2006

Perempaun di Seberang Pulau

Benarkah kau datang disaat yang tidak tepat. Ketika aku sedang banyak masalah. Soal kuliah, organisasi, keuangan, sampai soal perempuan.

Tapi mengapa tiba-tiba saja malam ini aku kedanan ingin menyusulmu. Seperti kemarin sore, aku sudah bertekad bulat berangkat ke Jakarta. Usai kerja, aku akan langsung berkemas seadanya. Malam itu pokoknya aku harus menyusulmu, karena kau akan segera pulang ke asal tanah kelahiranmu di seberang pulau sana.

Aku sudah siap-siap berkemas. Tak banyak persiapan. Cukup cuci muka, tak sempat mandi karena waktu sudah mendesak. Pukul 20.00 WIB, aku harus sudah sampai stasiun KA Poncol. Aku mungkin akan naik kereta ekonomi Kertajaya, yang berangkat dari Surabaya.

Aku rencanakan akan tiba di Jakarta dini hari. Sekitar subuh atau mungkin lebih awal. Tapi bisa saja telat karena kereta ekonomi tak bisa dipastikan. Siangnya aku akan menemuimu di Bandara. Ya, kuperkirakan masih sempat, karena jadwal penerbangan pesawat yang akan kau tumpangi direncanakan pukul 14.00.

Di Bandara itu akan menjadi saksi pertemuan kita. Pertemuan pertama, dan entah kapan akan berjumpa lagi. Aku membayangkan memelukmu erat menjelang perpisahan, sambil membisikkan kata-kata indah. Kau juga memelukku erat, seperti tak ingin melepaskan. Saudara-saudara yang mengantarkanmu itu terpana melihat kita berdua. Begitu juga orang-orang di Bandara yang menyaksikan.

Sampai kemudian datang seorang pramugari cantik yang menghampirimu karena pesawat akan segera berangkat. Pokoknya benar-benar seperti adegan di film layar lebar atau di sinetron itu. Lebih konyol lagi, pesawatmu akan terbang mundur, seperti di salah satu film Warkop DKI, Dono-Kasino-Indro.

***
Suatu hari, ada pesan di shoutbox yang kupasang di blogku. Dari namanya, pengirimnya kukira seorang perempuan. Dia ingin berkenalan denganku. "Jangan kau menutup diri, " pesanmu yang kau tulis dalam bahasa Inggris.

Aku tak tahu siapa perempuan itu. Kok dia tahu alamat blogku. Bilang agar aku tidak menutup diri. Ah siapa dia. Mungkinkah aku pernah berjumpa dengannya, atau mungkin dia pernah jumpa atau kenal entah dari teman, atau....

Rupanya ada email baru yang juga dikirim oleh perempuan yang meninggalkan pesan di shoutbox itu. Aku baru tahu kalau dia ternyata kenal aku di salah satu milis pers mahasiswa. Rupanya dia masih penasaran denganku yang kerap mengirim tulisan dengan nama samaran.

"Kau siapa sih, benarkah manusia sejati itu namamu. Kalau itu benar tulisanmu, aku akan sangat menghargaimu. Aku ingin berteman denganmu, "kurang lebih bunyi email itu.

Aku tak langsung menannggapinya. Kejadian seperti ini sudah biasa. Mungkin saja mereka cuma iseng. Maklum selebritis dunia maya, gumamku. Kek kek kek Baru kemudian esoknya kubalas, karena merasa tak enak. Siapa tau yang satu ini tak cuma iseng. Boleh lah ditanggapi.

Berawal dari situ, kami kemudian saling kirim email. Hari berikutnya kami janjian chatting. Kami ngobrol banyak. Dia memperkenalkan dirinya. Begitu juga aku. Kami ngobrol tentang seputar dunia mahasiswa. Seperti ini terus berlanjut. Bahkan kami saling kirim sms, saling telepon. Hingga suatu kali, pembicaraan kami tertuju pada persoalan yang lebih privat.

"Maksudmu apa kau bilang say," tanyanya dalam sms. Sepertinya dia marah karena aku terkesan bercanda. Dia mungkin merasa dijebak untuk mengatakan bahwa dia sebenarnya suka pada diriku, namun setelah itu aku malah tak memberikan kepastian.

Kendati demikian, hubungan kami masih berlanjut. Kami saling telepon. Hallo say, hallo my honey, sapaan-sapaan yang sering kami gunakan, baik dalam chatting, sms maupun telepon. Entah ini namanya apa. Yang jelas, kehadirannya mengisi hari-hariku. Begitupun dirinya.

"Sejujurnya aku masih ingin melanjutkan hubungan ini. Tapi terserah kamu lah my honey. up to u," bunyi pesanmu menjawab emailku.

Sebelumnya kau ngambek gara-gara aku telat janjian chatting. Aku pun sebel karena sepertinya kau tak mau tahu kalau malam itu aku juga lagi dapat musibah. Maka kuputuskan juga malam itu untuk tak menghubungimu lagi. Tapi membaca emailmu itu, aku mengurungkan niatku, karena sebenarnya aku pun masih menikmati hubungan kita ini.

***
Hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk bertemu denganmu. Apapun yang terjadi aku harus menemuimu. Aku sudah bersiap-siap. Malam itu kupustuskan akan menyusulmu ke Jakarta.

"Din, besok kamu bisa rapel jamku. Aku besok ada keperluan. Nanti kuganti lain waktu," bunyi sms dari teman kerjaku. Aku sungguh tak enak untuk tak menyanggupinya. Aku masih orang baru. Tak mungkin aku menolaknya. Aku tak tau harus ngomong bagaimana. Ah, rencanaku batal! Batal!!!

Aku menyesal kenapa tak menyempatkan waktu sebelumnya. Padahal sebulan lebih kau berada di Jakarta. Entah, apakah ada kesempatan kita akan bertemu. Sementara kau malam ini telah terbang kembali ke pulau asalmu, di pulau Sumatera, di Medan sana.

Aku masih menunggu kiriman film titipanku yang kau belikan di Jakarta. Mungkin itu sebagai kenang-kenangan darimu.

0 penitip luka:

Post a Comment

<< Kembali ke gerbang luka