Romantisme Perpisahan
Seminggu yang lalu aku masih sempat bertemu dengannya. Aku menyesal tak banyak bercengkerama dengannya. Hari itu aku cuma pulang beberapa jam saja menjenguk keluarga di rumah-kampung-halaman. Siang tiba, sorenya balik ke semarang lagi. Kulihat ia tampak murung. Entah apa yang sedang dipikirkan kakak keduaku itu.
Waktu yang singkat itu kuhabiskan bersama si keponakan, anak sulung dari kakakku. Ia sekarang sudah mulai bisa jalan. Makin menggemaskan saja. Berat sekali sore itu meninggalkan rumah karena si perempuan kecil itu masih ingin ikut denganku. Memang seharian itu aku menemaninya, menggendong, menuntunnya jalan-jalan.
"Om nanti pulang, ntar Lia main sama Om lagi," hibur sang ibu disela-sela tangis perempuan kecil yang ada di gendongannya dengan logat bahasa Jawa khas Kendal.
Aku menatapnya. Dua hari lagi dia akan ditinggalkan oleh sang ayah. Ia mungkin akan berjumpa lagi saat dirinya sudah mulai masuk usia sekolah. Saat itu ia bisa saja ia tak mengenali orang yang sering menggendongnya saat dirinya masih kecil. Ia mungkin akan melihat foto terlebih dulu untuk memastikan bahwa orang yang baru ia jumpai itu adalah lelaki yang telah melahirkan dan rahim ibunya.
Lama aku menatapnya sebelum akhirnya aku langkahkan kaki meninggalkan wajah sayu perempuan kecil. Sempat juga kulihat rona muka yang tak jauh beda pada laki-laki dewasa yang ada di sebelahnya dan juga perempuan yang menggendong si perempuan kecil. Sungguh masa-masa yang berat, gumamku.
Sayang, aku tak menyaksikan saat perpisahan kakakku itu dengan istri dan anaknya yang belum genap berumur satu tahun. Tapi aku merasa beruntung tak melihat peristiwa yang pasti bakal mengaharu-birukan itu. Lebih berat dari yang terjadi sore itu ketika aku berpisah dengan keluarganya. Aku baru sebatas paman bagi perempuan kecil itu, bagaimana dengan ia, yang akan meninggalkan anaknya sendiri.
Kak, sekarang kau mungkin tengah bekerja membanting tulang di negeri orang itu, atau mungkin tengah istirahat setelah seharian tadi kau bekerja. Istrimu malam ini mungkin tengah menimang-nimang si "malaikat kecil"-mu itu yang beberapa hari ini menangis kehilangan orang yang selalu menemaninya.
Aku tak bermaksud mengabarkan hal ini kepadamu. Kutahu kau akan semakin bersedih. Dan kau akan semakin banyak membutuhkan waktu untuk menatapi foto istri dan anakmu yang kau selipkan di dompetmu.
Maka aku kabarkan, anak dan istrimu baik-baik saja. Akhir pekan ini aku akan menengoknya. Seperti biasa, akan kusempatkan waktu seharian untuk bermain dengan si malaikat kecilmu itu. Entah kehadiranku itu akan mampu menggantikan kepergianmu. Mungkin saja ia menganggapku sebagai ayahnya. Toh ia belum tahu apa arti panggilan Om dan ayah yang sering diajarkan oleh ibunya.
Kupanjatkan dalam setiap doaku semoga kau dan keluarga kecilmu bisa melewati masa sulit ini. Kau bisa mendapatkan apa yang kau cari. Kutahu ini perjuangan yang amat berat dan melelahkan. Sekarang bekerjalah, lupakan sejenak pikiran yang mengganggumu.
Aku berharap kau tak lupa dengan janjimu. Kau pergi demi anak dan istrimu. Suatu saat nanti kau akan kembali pada mereka. Merayakan kemenangan bersama keluarga kecilmu. Istrimu lebih cantik dari perempuan manapun. Anakmu lebih berharga dari apapun. Maka setiap kali godaan menghadangmu, ingatlah mereka.
Dua tahun bukan waktu yang lama untuk sebuah perjuangan. Tak usah kau nanti perjumpaan itu. Kelak pasti akan tiba saatnya kita berkumpul lagi. Kau akan menemui anakmu sudah lancar bicara, sudah bisa memanggilmu ayah.
0 penitip luka:
Post a Comment
<< Kembali ke gerbang luka