Baru saja bisa sedikit lega, kali ini batinku kembali berguncang melihat kau kembali merintih kesakitan. Aku membututimu ketika mereka membawamu menuju sebuah ruangan. Cairan merah terus mengucur hingga berceceran di sepanjang jalan yang kau lewati. Kepalamu naik turun, kekiri-kekanan, nafasmu seperti tersumbat. Berkali-kali nama suci itu kau sebut berulang-ulang.
Apa yang telah dilakukan orang-orang itu padamu. Aku menyesal tak berada di sampingmu. Aku menyesal keluar dari ruangan itu sehingga aku tak tahu persis apa yang telah mereka lakukan padamu. Mungkinkah mereka salah mengambil tindakan?
Baru saja bisa sedikit lega, kali ini batinku kembali berguncang melihat kau kembali merintih kesakitan. Aku membututimu ketika mereka membawamu menuju sebuah ruangan. Cairan merah terus mengucur hingga berceceran di sepanjang jalan yang kau lewati. Kepalamu naik turun, kekiri-kekanan, nafasmu seperti tersumbat. Berkali-kali nama suci itu kau sebut berulang-ulang.
Apa yang telah dilakukan orang-orang itu padamu. Aku menyesal tak berada di sampingmu. Aku menyesal keluar dari ruangan itu sehingga aku tak tahu persis apa yang telah mereka lakukan padamu. Mungkinkah mereka salah mengambil tindakan?
Ya, kudengar dari percakapan orang-orang itu, ada yang salah. Aku memang tak tau persis istilah-istilah yang mereka gunakan. Tapi aku menangkap isyarat ada yang tak beres baru saja terjadi padamu. Mungkin saja kau dijadikan bahan praktek anak-anak ingusan yang ingin sok jadi pahlawan itu. Tapi aku tak tau pasti, karena saat itu aku keluar ruangan. Aku mulai curiga ketika beberapa orang berhamburan keluar ruangan terlihat panik. Benar saja, saat itu kau tak sadarkan diri.
Yang jelas, saat ini kau kembali terbaring di ruang pengap itu. Aku gagal menyembunyikan air mataku ketika kau minta aku mendekat di sampingmu sambil kau memintaku memegang jari tangan kananmu. Entah seperti apa yang kau rasakan saat itu, dunia bagimu mungkin sudah gelap. Kau memintaku memaafkan segala kesalahanmu. Ini hampir seperti yang kusaksikan beberapa tahun lalu, ketika hanya aku seorang diri menyaksikan orang yang kita sayangi itu dalam kondisi sekarat, tanpa kau, tanpa orang-orang yang seharusnya ikut serta menemaniku. Aku bertahan menanggung sendiri. Batinku makin teriris-iris bicaranya mulai ngelantur. Aku tak ingin kehilangmu, pun juga dia.
Esok pagi, di saat matahari belum tampak kemerahan, aku akan menungguimu kembali. Maafkan malam ini aku tak dapat menemanimu. Maafkan untuk doa yang belum sempat kupanjatkan, pesan yang belum kusampaikan. Aku terlalu sibuk mengatasi kegundahan perasaanku. Malam ini aku akan membekali diri untuk menemuimu esok hari. Percayalah, aku akan lebih kuat menghadapi segala keadaanmu.
Semoga malam ini kau bisa tertidur nyenyak, melupakan sejenak kesakitanmu. Anggap saja catatan harian ini oleh-oleh untukmu ketika kau akan membacanya ulang suatu saat nanti.